M. Kasim
Mohon maaf, untuk ke-kali sekian, selalu menyuarakan (opini ?) ketimpangan
pendidikan formal vs nonformal. Namun bukan maksud mempertajam sinyalemen
tersebut, melainkan ingin menjernihkan suasana agar yang di dalam dan
dipermukaan sama adanya.
Hampir setahun, hiruk-pikuk Program Sekolah Penggerak (PSP) mewarnai
geliat pendidikan. Program yang diturunkan dari kebijakan Mas Menteri, ternyata
mendapatkan sambutan dengan penuh antusiasme dari akademisi, praktisi, birokrasi
dan pemangku jabatan yang terkait.
Namun sayangnnya, ada hal yang terlewatkan (bukan dilewati?), yaitu
keterlibatan para pemangku jabatan dari pendidikan jalur nonformal, tidak
memperoleh porsi dan peran yang seimbang. Jika dicermati, itu bersumber pada tidak
dijadikannya PTK nonformal menjadi sasaran PSP. Apa yang melatarbelakanginya?
Diharapkan, dan sekali lagi dengan penuh harap, semua itu bukan bentuk
diabaikannya jalur pendidikan nonformal, yang dalam peraturan
perundang-undangan dijamin kesetaraannya dengan jalur formal.
Sekilas PSP
Sebagaimana tercantum dalam konsiderans Kepmendikbud Nomor 1177/M/2020, tentang
Program Sekolah Penggerak, adalah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan,
perlu menyelenggarakan program sekolah penggerak sebagai model satuan
pendidikan bermutu.
a. Apa yang
dimaksud dengan PSP?
Program Sekolah Penggerak adalah program untuk meningkatkan kualitas belajar siswa yang terdiri dari 5 jenis intervensi untuk mengakselarasi sekolah bergerak 1-2 tahap lebih maju dalam kurun waktu 3 tahun ajaran.
b. Apa saja 5 jenis intervensi?
1. Pendampingan konsultatif dan asimetris
Program
kemitraan antara Kemendikbud dan
pemerintah daerah dimana Kemendikbud memberikan pendampingan implementasi Sekolah Penggerak
2.
Penguatan SDM Sekolah
Penguatan Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, Penilik, dan Guru melalui
program pelatihan dan pendampingan intensif (pelatihan secara individual)
dengan pelatih ahli yang disediakan oleh Kemendikbud.
3. Pembelajaran kompetensi holistik
Pembelajaran
yang berorientasi pada penguatan
kompetensi dan pengembangan
karakter yang sesuai nilai-nilai Pancasila, melalui kegiatan
pembelajaran di dalam dan luar kelas.
4. Perencanaan berbasis data
Manajemen berbasis sekolah: perencanaan berdasarkan refleksi diri satuan pendidikan.
5. Digitalisasi
sekolah
Platform digital bertujuan mengurangi kompleksitas, meningkatkan efisiensi, menambah inspirasi, dan pendekatan yang disesuaikan (Kemendikbud, 2021).
c. Satuan pendidikan apa yang menjadi sasaran PSP?
1. Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) Usia 5 sampai dengan 6 tahun.
2. Sekolah
Dasar (SD)
3. Sekolah
Menengah Pertama (SMP
4. Sekolah Menengah Atas (SMA)
d. Siapa saja yang terlibat dalam PSP?
1.
Guru/Pendidik PAUD
2. Kepala
Satuan Pendidikan
3.
Pengawas Sekolah/Penilik
Sekilas Tilikan
Jelaslah bahwa kebijakan PSP ini memiliki tujuan atau output/outcome-nya peningkatan mutu. Titik fokusnya adalah meningkatkan kualitas belajar siswa, menjadi Pelajar Pancasila, yang memiliki kompetensi: 1) Beriman dan Bertaqwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, 2) Berkebinekaan Global, 3) Bergotong Royong, 4) Kreatif, 5) Bernalar Kritis, dan 6) Mandiri (Kemendikbud, 2021).
Lima intervensi PSP, menunjukkan langkah yang benar-benar komprehensif dan perfekstif. Seluruh komponen atau stakeholder dilibatkan. Konsep PSP berbeda dengan Program Sekolah Model/Rujukan/Unggulan, yang didalamya tidak mencakup seluruh kondisi satuan pendidikan.
Pertanyaannya, mengapa satuan pendidikan nonformal tidak menjadi sasaran PSP? PAUD yang dimaksud dalam PSP secara eksplisit adalah PAUD Formal, Usia 5-6 tahun. Belum ada penjelasan secara tegas, baik ditinjau dari landasan yuridis, psikologis, maupun sosio kultural. Hanya dalam booklet, diterangkan, bahwa PSP bisa didemininasikan kepada PAUD jenis layanan Kelompok Usia dibawahnya, yang memang tidak lain adalah PAUD Nonformal. Tentunya ini tidak sejalan dengan rasionalisasi Kurikulum 2013 PAUD, bahwa sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun. Artinya, seharusnya justru menjadi sasaran utama, jika ingin konsisten dengan cita-cita meraih Generasi Emas Tahun 2045.
Apakah Ini didasarkan pada Permendikbud Nomor 32 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Minimal Pendidikan? Sebagai peraturan yang setingkat, kemungkinan tertutup analisis tersebut. Akhirnya terjawab sudah, mengapa setiap kebijakan yang terkait dengan PAUD, maka yang “nampak” oleh pengambil kebijakan adalah PAUD Formal, karena semua bersumber pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal Pasal 5, Ayat (5) huruf c yang mengatur bahwa penerima pelayanan dasar untuk setiap jenis pelayanan dasar yaitu warga negara dengan ketentuan: usia 5 (lima) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun untuk Jenis Pelayanan Dasar pendidikan anak usia dini.
Kemudian berkaitan dengan PTK, bahwa memang JF Penilik tercakup dalam sasaran PSP. Penilik memiliki kedudukan yang setara dengan Pengawas Sekolah. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah tidak dipertimbangkan, bahwa JF Penilik, sasaran tugas dan fungsinya adalah jalur nonformal. Bagaimana dapat memerankan sebagai sasaran PSP, sedangkan satuan pendidikan binaannya, tidak menjadi bagian dari sasaran PSP.
Perlu dipaparkan disini, bahwa dalam PSP, pihak-pihak yang menjadi sasaran, memiliki peran Guru Penggerak (Pendidik), Sekolah Penggerak (Kepala Sekolah), dan Pelatih Ahli (Dosen, Pengawas Sekolah Aktif, Pensiunan Pengawas Sekolah/Penilik/Kepala Sekolah/Pendidik/Widyaiswara, dsb). Catatan: untuk Pelatih Ahli yang nantinya bertugas pendampingan kepada Guru, KS, Pengawas dan Penilik, ternyata tertutup untuk diisi oleh Penilik Aktif. Selain itu juga ada Asesor PSP, yang dapat diisi oleh Guru, KS, Pengawas, Penilik, Dosen, Widyaiswara dsb. Tugas Asesor PSP adalah menyeleksi KS Sekolah penggerak dan Pelatih Ahli.
Sebenarnya, jika PTK Nonformal diberi kesempatan, maka juga mampu untuk berkompetisi. Hal ini
terlihat dari proses seleksi Asesor PSP Gelombang I. Dari pendaftar (Dosen,
widyaiswara, Guru/KS mulai PAUD-SMA) sekitar 8.000-an, lolos Seleksi tahap I,
400-an dan terakhir yang lolos tahap II , sejumlah 349. Yang cukup pengobat
dahaga, yang 6 berasal dari Penilik. Sayangnya, adik kandung Pamong Belajar,
belum diberikan kesempatan.
Sekilas Simpulan
Mencermati substansi PSP tersebut, boleh saja orang (nonformal) berpendapat bahwa PSP yang memang perwujudan dari semangat pendekatan merdeka belajar, yang dicanangkan Mas Menteri, adalah hal yang sudah familier di dunia pendidikan nonformal. Nilai-nilai dalam semangat merdeka belajar, bersinggungan dengan ciri khas nonformal: life skill, humanis, fleksibelitas, dst.
Namun demikian permasalahannya, bukan itu, melainkan rasa keadilan terusik, manakala kebijakan belum berpihak kepada seluruh insan pendidikan (peserta didik dan PTK). Pendidikan nonformal, yang sempat bersemangat mencanangkan mengubah paradigma dari pengganti, penambah, dan/atau pelengkap menjadi mengejar, mengiringi, dan/atau mendahului, tentunya memiliki tuntutan untuk disamakan, bukan hanya disetarakan.
Jalan
belum tertutup. Tahapan PSP masih panjang. Pada tahun Ajaran 2021/2022 ini,
targetnya adalah 34 Provinsi 110 Kab/Kota dengan 2.500 Satuan Pendidikan, dan tahun ajaran 2024/2025 34 Provinsi 514
Kab/Kota dengan 40.000 Satuan Pendidikan, sebelum target tercapai seluruhnya
(100%) satuan pendidikan, pada tahun selanjutnya. Artinya, kebijakan masih sangat
dimungkinkan untuk disesuaikan dengan aspirasi yang ada bahwa seluruh insan
pendidikan Indonesia saat ini sebaiknya satu kata sepakat: Merdeka Belajar
memang untuk Pendidikan Jalur Formal dan Nonformal.