PENILIK ADA DAN BISA

Jumat, 17 Juli 2020

MENAKAR KESERIUSAN KITA, MELAHIRKAN GENERASI EMAS TAHUN 2045








M. kasim

Cita-cita dan impian Indonesia untuk tahun 2085 adalah berdaulat, maju, adil dan  makmur.  Untuk itu harus didukung dengan empat pilar yang menopangnya, yakni  1) pembangunan SDM dan penguasaan Iptek, 2) perkembangan ekenomi berkelanjutan, 3) pemerataan pembangunan, dan 4) ketahanan nasional dan tatakelola pemerintahan.    Untuk itu, dalam pembangunan yang berkelanjutan, Indonesia telah ikut menyepakati Document Sustainable Development Goals (SDGs) dengan salah satu fokus pada tujuan secara global peningkatan kualitas pendidikan (Kemendikbud, 2017: 3).

Keterangan tersebut diatas, dinukil dari Dokumen “Peta Jalan Generasi Emas Indonesia 2045”. Peta Jalan Generasi Emas 2045 adalah dokumen rencana yang memuat kebijakan strategis tahapan-tahapan dalam pencapaian kualitas pendidikan tahun 2016 (base line) hingga tahun 2045 yang sesuai dengan sasaran pembangunan nasional. Dengan demikian, akan terpapar dengan jelas bagaimana bangsa ini mewujudkan cita-citanya, meraih generasi emas tahun 2045.

Terus terang dokumen tersebut belum banyak disosialisasikan, sehingga wajar jika di masyarakat umum, bahkan  para pelaku pendidikan di tingkat bawah, masih samar-samar dengan berbagai pertanyaan: apa, siapa, bagaimana, dan kapan, generasi emas itu. Rerata yang diketahui,  sebatas bangsa ini bercita-cita, akan memperoleh generasi emas yaitu generasi yang unggul berkualitas, berdaya saing pada tahun 2045. Pertanyaannya, sudah seiya sekatakah seluruh anak bangsa ini?

Menakar regulasi

Menilik generasi emas pada tahun 2045, dapat dilakukan dengan berkaca pada AUD yang saat ini ada di depan kita. Merekalah yang akan memiliki kesempatan mewujudkan harapan bangsa ini. Pada  tahun 2030 hingga 2035 nanti, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi di mana Indonesia akan lebih banyak ditopang oleh 52 persen penduduk dengan usia produktif

Untuk mewujudkan cita-cita bangkitnya Generasi Emas 2045, arah kebijakan pendidikan diprioritaskan pada pendidikan usia dini yang digencarkan sampai ke desa-desa.

Namun demikian, setiap kebijakan tidak akan optimal bahkan terancam gagal jika tidak ada penjaminan program implementasi. Hal tersebut, tidak cukup hanya dengan dirumuskannya regulasi turunan untuk mengeksekusi sebuah kebijakan. 

Yang tidak kalah penting adalah bagaimana sinkronisasi  berbagai regulasi yang terkait, sehingga terjamin harmoninasi diantaranya.  Mari kita uji apakah prasyarat tersebut tercukupi atau tidak.

1. Salinan Lampiran I Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 146 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini.

Dalam lampiran peraturan ini, dapat dikutip beberapa hal yang menegaskan betapa pentingnya PAUD, bagi perkembangan anak ke tahap selanjutnya, anatara lain:

a. Masa usia dini adalah masa emas perkembangan anak dimana semua aspek perkembangan dapat dengan mudah distimulasi. Periode emas ini hanya berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia. Oleh karena itu,  pada masa usia dini perlu dilakukan upaya pengembangan  menyeluruh  yang melibatkan aspek pengasuhan, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan.

b. Penelitian menunjukkan bahwa masa peka belajar anak dimulai dari anak dalam kandungan sampai 1000 hari pertama kehidupannya. Menurut  ahli neurologi,   pada saat lahir otak bayi mengandung 100 sampai 200 milyar neuron atau sel syaraf yang siap melakukan sambungan antar sel. Sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100% ketika berusia 8 sampai 18 tahun.

Uraian dalam Lampiran I Permendikbud No. 146 Tahun 2014 ini, menegaskan bahwa, jika menginginkan kelak anak mencapai perkembangan optimal, yang tentunya berkaitan dengan kualitas SDM, maka tidak ada strategi yang lebih tepat, selain memberikan layanan pendidikan yang optimal sejak usia 0-4 tahun. Hal inilah yang menjadi dasar rasional dalam pengembangan Kurikulum 2013 PAUD.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal

a.  Pasal 1 menegaskan:
Standar Pelayanan Minimal, yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal

b.  Pasal 5, ayat (3) mengatur:
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM pendidikan Daerah kabupaten/ kota terdiri atas:  pendidikan anak usia dini; pendidikan dasar; dan pendidikan kesetaraan.

c.  Pasal 5, ayat (5) mengatur:
Penerima pelayanan dasar untuk setiap jenis pelayanan dasar yaitu Warga Negara dengan ketentuan usia 5 (lima) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun untuk Jenis Pelayanan Dasar pendidikan anak usia dini.

Peraturan pemerintah ini mengatur bahwa pelayanan dasar pendidikan AUD, diperuntukkan kelompok usia 5-6 tahun. Dapat diartikan, bahwa semangat untuk mempersiapkan generasi emas, yang jika ditakar berdasarkan teori perkembangan AUD, dipastikan sulit terealisasikan.

3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Nomor 32 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan

     a. Pasal 1 menegaskan:
Standar Pelayanan Minimal Pendidikan yang selanjutnya disingkat SPM Pendidikan adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar pendidikan yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap Peserta Didik secara minimal

b. Pasal 6 mengatur:
Penerima Pelayanan Dasar SPM Pendidikan pada pendidikan anak usia dini merupakan Peserta Didik yang berusia 5 (lima) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.

Ternyata Permendikbud ini juga tidak berbeda jauh dengan apa yang ada dalam PP No. 2 tahun 2018. Urgensitas usia Emas, tidak menjadi spirit dalam memberikan pelayanan minimal pendidikan.

Harmonisasi regulasi

Jika dibedakan dari bagaimana komitmen peraturan itu mendukung terlahirnya generasi emas, maka ada 2 kelompok. Pertama, pada Lampiran I Permendikbud Tahun 146Tahun 2014, tetang Kurikulum 2013 PAUD, jelas memberikan dasar pemikiran (rasional), mengapa pendidikan AUD harus dimulai sejak lahir ( 0 tahun). Usia emas (0-4 tahun), benar-benar masa yang tidak boleh terlewatkan dari sentuhan pendidikan.

Kedua, PP No. 2 Tahun 2018, tentang Standar Pelayanan Minimal dan Permendikbud No. 32 tahun 2018, tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan, mengatur bahwa pelayanan dasar PAUD diperuntukkan kelompok usia 5-6 tahun, atau hanya 1 tahun pra sekolah. Kedua regulasi ini jelas mengabaikan  urgensitas usia emas (0-4 tahun).

Selanjutnya, cermati permendikbud tentang PPDB yang rutin tiap tahun diterbitkan. Maka pengaturan tentang bagaimana tatacara penerimaan peserta didik baru, hanya mengatur mulai PAUD kelompok usia 5-6 tahun. Padahal pengelola PAUD kelompok usia di bawahnya, juga memerlukan panduan dalam penyelenggaraan PPDB.

Bagaimana hal ini terjadi? Bahwa regulasi-regulasi tidak mampu membentuk harmonisasi  nada yang padu dan apik, dalam upaya mewujudkan generasi emas tahun 2045? Dampak selanjutnya, ditataran pelaksana paling bawah, maka muncul persepsi bahwa generasi emas hanya berupa slogan pepesan kosong. Generasi emas bukan sebuah obsesi yang menjiwai seluruh gerak langkah anak bangsa. Dikhawatirkan, generasi emas tidak akan lahir pada tahun 2045, karena sudah layu di dalam kandungan.

Selasa, 14 Juli 2020

BERBURU (DAN BEREBUT ?) PESERTA DIDIK PAUD SAAT PPDB







M. Kasim

Apakah ini juga terjadi di wilayah binaan bapak/ibu? Pernahkah bapak/ibu menerima keluhan dari para pengelola (TPA, KB, SPS dan TK) tentang terjadinya saling meng-claim. Bahkan sampai melibatkan orang tua sehingga permasalahan semakin membesar. Lebih parah lagi unsur pembina, penilik PAUD dan pengawas TK, ikut pula terimbas dampaknya, mereka berhadapan satu dengan yang lainnya: menyatakan sebagai pihak yang paling berhak untuk melayani AUD pada KU (Kelompok Umur) tertentu.

Kasus tersebut sudah lama sudah terdengar, namun tidak sampai nampak di permukaan, sehingga ibaratnya api dalam sekam,  terasa panas, tidak nampak baranya. Nah pada masa pandemik Covid-19 ini, PPDB (Penerimaan Peserta Didik baru) PPDB ibarat minyak sebagai penyulut, dan terjadilah percikan api.

Muncul usulan untuk mempertemukan dari beberapa pihak yang terkait (penilik, pengawas TK, IGTKI, HIMPAUDI dan Dinas Pendidikan) bertemu dan berembug dengan harapan ada surat keputusan bersama yang berisi ketentuan tentang kewenangan pelayanan satuan pendidikan berdasarkan KU. Baguslah, semangat berembugnya. Itu menandakan bahwa ada semangat kebersamaan dalam menyikapi permasalahan. Namun perlu diperhatikan, setiap kebijakan apalagi produk sebuah regulasi, harus memenuhi beberapa prasyarat antara lain sumber hukum/peraturan di atasnya.

Kewenangan Pelayanan Satuan PAUD

Pemerintah (dalam hal ini Kemendikbud) telah mengatur dengan jelas dan tegas tentang batasan kewenangan pelayanan satuan PAUD berdasarkan KU. Tentunya sebuah produk regulasi, akan melalui beberapa tahap sebelum diterbitkan, antara lain pengkajian (FGD) yang melibatkan seluruh stake holder ( birokrasi, akademisi, praktisi dan pemangku jabatan terkait). Selanjutnya setelah penyusunan draf, dilakukan uji publik untuk menampung aspirasi dari pengguna peraturan, dan dijadikan bahan revisi draf, baru diterbitkan.

Peraturan yang mengatur kewenangan pelayanan satuan PAUD berdasarkan KU tercantum dalam permendikbud berikut ini:

a. Permendikbud No. 84 Tahun 2014, tentang Pendirian Satuan PAUD.

Pada Pasal 1 mengatur bahwa:

1. Taman Kanak-kanak yang selanjutnya disingkat TK adalah salah satu bentuk satuan PAUD pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun dengan prioritas usia 5 (lima) dan 6 (enam) tahun.

2. Taman Kanak-kanak Luar Biasa yang selanjutnya disingkat TKLB adalah salah satu bentuk satuan PAUD pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan khusus bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun dengan prioritas usia 5 (lima) dan 6 (enam) tahun.

3. Kelompok Bermain yang selanjutnya disingkat KB adalah salah satu bentuk satuan PAUD jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 2 (dua) sampai dengan 6 (enam) tahun dengan prioritas usia 3 (tiga) dan 4 (empat) tahun.

4. Taman Penitipan Anak yang selanjutnya disingkat TPA adalah salah satu bentuk satuan PAUD jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak sejak lahir sampai dengan 6 (enam) tahun dengan prioritas sejak lahir sampai dengan usia 4 (empat) tahun.

5. Satuan pendidikan anak usia dini sejenis yang selanjutnya disebut SPS adalah salah satu bentuk satuan PAUD jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak sejak lahir sampai dengan 6 (enam) tahun secara mandiri atau terintegrasi dengan berbagai layanan kesehatan, gizi, keagamaan, dan atau kesejahteraan sosial.

b. Permendikbud No. 137 Tahun 2014, rentang Standar Nasional PAUD

Bab IX, pasal 36, ayat (2) mengatur:

Jenis layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. usia lahir - 2 tahun dapat melalui TPA dan atau SPS;  b. usia 2 - 4 tahun dapat melalui TPA, KB dan atau SPS; dan c. usia 4 - 6 tahun dapat melalui KB, TK/RA/BA, TPA, dan atau SPS.

c. Permendikbud No. 146 Tahun 2014, tentang Kurikulum 2013 PAUD

    Pasal 2, ayat (1) mengatur:

PAUD diselenggarakan berdasarkan kelompok usia dan jenis layanannya, yang meliputi.

1. Layanan PAUD untuk usia sejak lahir sampai dengan 6 (enam) tahun terdiri atas Taman Penitipan Anak dan  Satuan PAUD Sejenis (SPS), dan yang sederajat.

2. Layanan PAUD untuk usia 2 (dua) sampai dengan 4 (empat) tahun terdiri atas Kelompok Bermain (KB) dan yang sejenisnya.

3. Layanan PAUD untuk usia 4 (empat) sampai dengan 6 (enam) tahun terdiri atas Taman Kanak-kanak (TK)/Raudhatul Athfal (RA)/Bustanul Athfal (BA), dan yang sederajat

 

Jika kita cermati maka dapat disimpulkan kewenangan masing-masing satuan PAUD adalah sebagai berikut:

1. Taman Penitipan Anak (TPA)

TPA adalah satuan PAUD yang lebih menonjolkan pengasuhan pada layanannya, sehingga dapat memberikan layanan KU 0-6 tahun. Oleh sebab itu, pada satuan PAUD yang satu atap, anak-anak TK, setelah KBM, mereka langsung masuk layanan pengasuhan TPA. Hal ini terutama jika orangtuanya, semua sibuk bekerja hingga sore hari.

2. Kelompok Bermain (KB)

KB adalah satuan PAUD yang dapat melayani KU 2-4 tahun,  2-6 tahun, dan prioritas 3-4 tahun.

3. Taman Kanak-Kanak (TK)

TK adalah satuan PAUD yang dapat melayani KU 4-6 tahun

4. Satuan PAUD Sejenis (SPS)

SPS (POS PAUD, TAAM, dsb), adalah satuan PAUD yang dapat melayani KU 0-6 tahun. Ciri khas dari SPS adalah menyelenggarakan program pendidikan secara mandiri atau terintegrasi dengan berbagai layanan kesehatan, gizi, keagamaan, dan atau kesejahteraan sosial.

Tumpang tindih atau irisan?

Ketiga permendikbud tersebut di atas sangat rinci dan terang benderang memberikan petunjuk tentang kewenangan masing-masing berdasarkan KU.  Tidak ada tumpang tindih diantaranya. Masing-masing memiliki spesifikasi sendiri-sendiri dengan kata kunci “ dapat” dan “prioritas”.  Artinya, dalam peraturan tersebut, mempertimbangkan faktor-faktor situasi dan kondisi sebagai dasar pegangan dalam bertindak.

 Bisa dimaknai bahwa permendikbud tersebut mengakomodasi permasalahan heterogenitas geografis di negeri. Sebuah peraturan tidak diperuntukkan untuk wilayah tertentu, tetapi juga implementatif  di seluruh pelosok daerah. Dalam kondisi tertentu tidak memungkinkan berdirinya satuan PAUD yang memiliki kewenangan sesuai skala prioritas (misal TK), maka jenis satuan PAUD SPS/TPA bahkan KB, dapat melayani pendidikan AUD tersebut.

Bagaimana jika dalam satu wilayah banyak berdiri satuan PAUD? Misal di kota, atau daerah yang telah berkembang satuan PAUD-nya. Di sinilah sebenarnya, asal-muasal permasalahan dalam topik ini terjadi. Jika demikian yang terjadi, maka yang menjadi pemutus dan pemilih adalah masyarakat/orangtua. Orangtua/wali yang paling berhak menentukan akan mempercayakan kepada siapa pendidikan anaknya.

Oleh sebab itu, konsekuensi bagi satuan PAUD memahami dan menghormati pilihan orangtua tersebut. Yang paling bisa dan logis dilakukan berlomba-lomba memberikan layanan yang bermutu, dan biarkan orangtua yang menentukan. Rasanya, tidak tepatlah jika berebut AUD dengan teknik yang kurang bijak dan elok, misal dengan memaksa atau bahkan mengintimidasi orangtua/masyarakat.

Peran pembina (Dinas Pendidikan, Penilik PAUD, Pengawas TK)

Sebagai pelaksana kebijakan pemerintah di garda terdepan, tidak ada pilhan lain, bagi unsur pembina selain menjalankan semua regulasi dengan penuh dan lurus. Pihak-pihak ini memiliki tanggung jawab mengawal implementasi peraturan-peraturan. Bagaimana langkah-langkah yang dapat dilakukan?

1. Mencermati dan memahami ke tiga permendikbud di atas, dan menjadikannya sebagai rujukan pada saat pembinaan kepada GTK PAUD. Yang dapat ditangkap, semangat pemerintah dalam upaya memenuhi hak pendidikan AUD, tanpa dibatasi aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografis.

2. Melakukan komunikasi dan koordinasi dalam rangka membangun kesepahaman dan kesepakatan diantara pihak-pihak yang terkait, sehingga meminimalisasi terjadinya friksi atau gesekan, khususnya antar satuan PAUD.

3. Mencegah terjadinya multipenafsiran yang didasari ego kelembagaan. Permendikbud yang ada sudah cukup jelas. Jika akan dibuatkan juklak/juknis, pastikan tidak bertentangan dengan permendikbud tersebut, yang justru membuka peluang terjadinya permasalahan baru. Jangan menyelesaikan masalah dengan membuka masalah.


PAUD BDR, BUAH SIMALAKAMA, BUKAN? BUKAN…!!!





M. Kasim

Judul di atas bukan  tanpa maksud….. “Bukan” yang pertama adalah pertanyaan, yang berisi keraguan bernuansa kegalauan.  Sedangkan “bukan” yang kedua adalah jawaban, yang berisi ketegasan yang tidak memiliki  maksud lain, selain demi melindungi hidup anak-anak.

Hari pertama masuk tahun ajaran baru lewat sudah, dengan berbagai pernak-perniknya. Setelah sebelumnya (sampai sekarang?) banyak pertanyaan, konfirmasi, debat, saran, himbauan, permohonan, bantahan, dan tumpah ruah menjadi satu: memprihatinkan. Ternyata kebijakan dari pemerintah pusat, yang tegas dan jelas (bukan multi tafsir, tidak abu-abu), berubah menjadi beribu persepsi pada tataran implementasi di tingkat bawah. Siapa yang salah, siapa yang benar?

Silang pendapat tidak hanya di intern sesama profesi, namun antar profesi. Namun jika dicermati, bukan disebabkan oleh lenturnya regulasi atau aturan yang dikeluarkan institusi atau organisasi, melainkan oleh penafsiran individual. Berbeda bukan hal yang tabu. Permasalahannya akan menjadi sesuatu yang berbahaya, jika hal tersebut didasarkan motif yang tidak pada tempatnya.

Memahami resiko sebuah pilihan

Sebagaimana pernah saya posting sebelumnya, untuk PAUD, saya mengusulkan BDR dilaksanakan dengan daring, home visit, dan video conference (say hello). Kesemuanya, mempersyaratkan harus ada upaya membangun komunikasi positif antara satuan pendidikan dengan orang tua. Tatap muka secara individu (home visit), dengan tetap memegang teguh protokol kesehatan.

Namun apa yang terjadi? Ada yang melaksanakan dengan “menawar” home visit tapi dengan 1-2 anak yang berdekatan tempat tinggalnya, kemudian guru memberikan pelajaran. Ada lagi yang “menyiasati” dengan masuk sekolah dengan sistem “shift”, setiap “shift” 5 anak. Sesuatu yang sangat beresiko untuk dilakukan di tengah masa pandemik Covid-19 yang masih ganas ini.

Setiap bertemunya AUD, dalam satu kegiatan, maka jumlahnya berlipat kali dua dari jumlah AUD. Sudah paham kan? Kelipatannya adalah orangtua masing-masing. Tinggal menghitung, kalau menghadirkan 2 AUD, yang hadir minimal 4, jika menghadirkan 5, yang hadir 10, bahkan bisa 15, jika orangtua/wali sangat kompak berdua mendampingi. Sudah terpikirkankah hal ini?

Satuan pendidikan yang mengambil langkah ini, beralasan akan dengan ketat menerapkan protokol kesehatan, phisycal distanching, menggunakan APD, memakai masker, jarak duduk 2 meter dst.  Argumentasi yang masuk akal. Namun apakah mereka berpikir, bagaimana ketika menjelang pulang? Mampukah mengawal dan menjamin sampai di pintu gerbang AUD tidak saling menyentuh?

Simaklah, berita ter-update, bagaimana dampak ketika PSBB, agak dilonggarkan. Terbukti, paparan Covid-19 melonjak dengan jumlah yang signifikan. Pemerintah propinsi/kabupaten/kota dari berbagai wilayah, akan mengkaji dan memperpanjang PSBB. Nampak kita belum bisa hidup berdamai dengan Covid-19, di era new normal.

 

 

Sekali lagi, pegang teguh regulasi

Tidak bosan-bosannya, diulang-ulang keputusan 4 menteri tentang penyelenggaran pendidikan pada masa Covid-19 ini. Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri pada tangal 15 Juni 2020 mengumumkan keputusan bersama tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran untuk tahun ajaran di masa pandemi COVID-19. Keputusan tersebut merupakan panduan pembelajaran tahun ajaran baru di masa pandemi Covid-19 bagi satuan pendidikan formal dari pendidikan tinggi sampai pendidikan usia dini dan pendidikan non formal.

Dalam keputusan itu pula ditegaskan bahwa Sekolah di wilayah yang ditetapkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sebagai zona kuning, oranye dan merah, tetap menjalankan belajar dari rumah. Sedangkan yang diperbolehkan melaksanakan pembelajaran dengan bertatap muka langsung, di sekolah (sistem klasikal), hanya wilayah yang termasuk zona hijau. Itupun dengan tahapan sesuai dengan jenjang pendidikan, di mulai dari PT, SLTA, SLTP, SD/MI, terakhir PAUD, dengan protokol kesehatan yang ketat.

Kebijakan gayung bersambut dengan pihak pemerintah daerah. Masing-masing menindaklanjuti dengan mengeluarkan ketentuan tentang penerapan BDR. Lebih kokoh lagi, hal ini didukung dengan organisasi profesi masing-masing. Selain memobilisasi anggota secara masif untuk mengikuti kegiatan peningkatan  kompetensi pendidik melalui webinar, juga mengeluarkan peraturan tentang teknis penyelenggaraan BDR.

Pesan singkat

Pada situasi yang masih memerlukan kewaspadaan yang tinggi ini, diperlukan pemikiran yang panjang. Interpretasikan segala ketentuan dan aturan dari pemerintah dengn lurus. Jauhkan dari motif apalagi kepentingan sesaat. Infokan ke orangtua/wali disertai penjelasan yang persuasif dengan tetap mematuhi apa yang ditegaskan pemerintah. Pada situasi seperti bini, adakah yang lebih layak dari pada memperjuangkan hak hidup anak?


Kamis, 09 Juli 2020

GENERASI EMAS, DI BAWAH BAYANG-BAYANG GENERASI YANG TERLUKA?





                                                                    Oleh M. Kasim

Jujur, menyesal  hari ini, 09-07-2020, saat ada kesempatan bertanya kegiatan webinar GTK PAUD, dengan narsum Kak Lucy dan  Kak Seto, saya ada kendala teknis. Pertanyaan saya begini: ada kekhawatiran cita-cita bangsa Indonesia, untuk mendapatkan Generasi Emas Tahun 2045, akan berbuah Generasi yang Terluka. Masa pandemik ini,  hipnosis dan hipnoterapi, tidak hanya untuk AUD, tetapi seharusnya juga orang-orang dewasa di sekitarnya.

Mungkin akan ada jawaban yang sangat menarik dari narsum yang luar biasa itu…  Tapi biarlah…. Paling tidak materi webinar hari ini benar-benar mampu menggapai alam bawah sadar saya, bahwa ada sesuatu yang “mengerikan” yang kemungkinan terjadi, dan itu bergantung keputusan sekarang.

Tidak ada pihak yang salah

Semua umat diberi pencerahan oleh Yang Mahakuasa, Alloh SWT,  bahwa  semua makhluk tidak memiliki apa-apa kecuali ketidakberdayaan di dunia ini. Keterlenaan atas kepercayaan bahwa semua  bisa dilakukan, luluh lantak hanya dalam waktu  tidak lebih dari setahun, dengan adanya Pandemi Covid-19. Tanpa kecuali, lintas negara, lintas profesi dan  lintas status sosial. Ya semoga  semua bisa mengambil hikmah dari balik musibah.

Pihak mana yang paling terdampak? Benar seluruhnya tanpa kecuali.  Berbagai sendi kehidupan tidak ada yang tidak tersentuh . Kehidupan keagamaan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Lebih spesifik pendidikan, yang merupakan satu bidang menjadi harapan bertumbuh dan berkembang peradaban bangsa.

Maka saat ini, yang paling tepat  jangan saling berhadapan. Menyalahkan pihak lain, untuk mencari pembenaran dirinya. Melemparkan beban kepada pihak lain, untuk melepas tanggung jawabnya. Posisi semua tidak berbeda: menghadapi permasalahan yang sama.

 Anak Usia Dini (AUD), Selamatkan

Berbicara pendidikan, maka sewajarnya jika yang pertama menjadi titik fokus, jenjang PAUD. Mengapa demikian? Bukan bermaksud memandang remeh jenjang yang lain, melainkan sebagai bentuk pemikiran berlandaskan filosofis pendidikan sebagai suatu investasi jangka panjang.

AUD yang saat ini yang sedang bertumbuh kembang, pada tahun 2045 akan mendominasi bangsa ini. Apalagi menurut perhitungan, saat itu bangsa ini memperoleh bonus demografi, yang hampir sebagian besar, penduduk Indonesia adalah usia produktif. Tidak terbayangkan bagaimana kelak jika mereka yang seharusnya generasi berjaya, namun karena secara psikologis terdampak pusaran permasalahan pandemik Covid-19, menjadi generasi yang terluka.

Kembali ke topik awal,  bagaimana menumbuhkan kesadaran semua pihak, untuk menyelamatkan satu generasi, yang nantinya diharapkan akan menerima tongkat estafet mengawal jalan bangsa ini. Tidak ada solusi yang tepat selain bentuk kebulatan tekat  bagaimana melindungi pendidikan AUD. Pemerintah, keluarga, masyarakat, satuan pendidikan, tokoh agama, public figure, tanpa kecuali,  wajib bahu-membahu merapatkan barisan : save the children..!!!

Patut mendapat apresiasi saat Pengurus Pusat HIMPAUDI mengeluarkan surat himbauan dan pamflet/poster yang berisikan ajakan, motivasi atau gerakan menumbuhkan kesadaran semua pihak, bersama-sama tetap memberikan layanan pendidikan dan pengasuhan kepada AUD. Suatu bentuk kepedulian bahwa AUD memang patut dan layak diperjuangkan. Semoga mimpi buruk, tidak jadi kenyataan.  


IKM PAUD: ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) PAUD SERUPA SILABUS

  Oleh M. Kasim Menyambung artikel sebelumnya, mencermati konsep dan bentuk fisik ATP. Terus terang, artikel ini memungkinkan memantik dis...