Oleh M. Kasim
Tercenung membaca komentar di blog ini: “Sehebat apapun usaha pemberdayaan yang dilakukan oleh Penilik tidak akan efektif jika tidak direspon dengan baik oleh PTK pada satuan pendidikan yang mengalami penurunan motivasi untuk meningkatkan kinerja dan kompetensi karena penghargaan yang tidak seimbang antara tuntutan pekerjaan dengan honor yang diterima. Hal ini berdasarkan hasil evaluasi kami terhadap pelaksanaan 8 SNP, semoga sisi suram nasib PTK pada satuan KB/PG mendapatkan perhatian dari pemangku kebijakan layaknya saudara tuanya di satuan TK..Aamiin YRA”. (cttn: identitasnya sengaja di-hiden).
Terkadang hati juga trenyuh dengan kondisi Pendidik PAUD Nonformal, yang belum memperoleh perhatian dan perlakuan yang adil dibandingkan PAUD Formal. Walaupun pernyataan diatas belum dapat digeneralisasikan dan dijadikan dasar kesimpulan, namun fakta tersebut, muncul pada setiap forum diskusi sesama Penilik. Apalagi jika dikaitkan dengan tagline “Kita Berjuang Melahirkan Generasi Emas pada Tahun 2045”.
Siapakah generasi Emas Tahun 2045?. Mereka adalah anak-anak usia dini, anak kelompok usia 0-6 tahun, yang saat ini ada di hadapan kita. Yang pada tahun tersebut, berusia sekitar 23-29 tahun, yang merupakan usia produktif, usia yang menentukan bagaimana kondisi bangsa ini ke depan. Ditangan merekalah, harapan dan cita-cita bangsa ini tergenggam. Dus, Pendidik PAUD Nonformal, tidak terbantahkan, berandil besar melahirkan Generasi Emas Tahun 2045.
Dedikasi dan Kiprahnya
Guru PAUD Formal, memiliki tugas dan kewenangan mendidik anak usia dini kelompok umur 4-6 tahun. Guru PAUD Jenis layanan Taman Kanak-Kanak (TK), menurut sejarahnya, telah ada sejak jaman Belanda dengan nama Frobelschool. Kemudian pada jaman Jepang baru diganti dengan nama Taman Kanak-Kanak. Ki Hajar Dewantara, dengan Taman Siswa-nya, melahirkan Taman Indria (http:edubdoobali.wordpress.com).
Dengan demikian, guru TK jauh lebih dahulu lahir. Oleh sebab itu, aktivitasnya telah lama melekat di benak masyarakat, dan dengan IGKTI sebagai organisasi profesi, memiliki daya tawar yang tinggi di hadapan seluruh stake holder. Lebih-lebih, IGTKI juga berada dalam subordinat organisasi profesi yang luar biasa besar jumlah anggotanya, PGRI. Lengkap sudah kekokohan pondasi dan eksistensi guru TK.
Bagaimana dengan Guru /(pendidik?) PAUD Nonformal? Sejarah pendidikan PAUD Nonformal, berawal dari perkembangan kebutuhan masyarakat, yang terutama kedua orangtua bekerja di luar tumah. Sejak tahun 1980-an, lahirlah layanan Taman Penitipan Anak dan Kelompok bermain. Kemudian dipertegas dengan terbitnya UU No. 2/1989 tentang Sisdiknas dan PP No. 27/1990 tentang Sistem Pendidikan Prasekolah (http:edubdoobali.wordpress.com).
Guru PAUD Nonformal, semakin eksis dalam kiprahnya sebagai pendidik, juga tidak mau tertinggal dengan saudara tuanya, yaitu mendirikan organisasi profesi HIMPAUDI. Luar biasa gerakan masif organisasi tersebut. Ketertiban dalam berorganisasi benar-benar membuat iri yang lain, bahkan pembinanya, IPI (Ikatan Penilik Indonesia).
Gebrakan Gernas Manjur, Gebyar PAUD sebagai wahana
unjuk masa. Kegiatan Diklat berjenjang (dasar/lanjut/mahir) sebagai
bentuk komitmen peningkatan kualitas kompentensi, yang bahkan berkat kegiatan
ini, Indonesia mendapat penghargaan apresiasi tingkat dunia. UNESCO memberikan
penghargaan pada Diklat berjenjang Pendidik PAUDIndonesia. Luar biasa, patut
diacungi dua jempol tangan.
Perjuangan dan Penghargaan
Sayangnya, dua saudara sekandung, walaupun sudah
mendapat pengasuhan dari orangtua yang sama belum berdampak pada perlakuan yang
sama. Hal ini tidak terlepas dari regulasi yang entah disadari atau tidak,
memberikan garis dan tembok pembatas yang sulit untuk memadukan keduanya.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2021 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi, Bab IV,
bagian Enam, Pasal 69-72, tidak dibedakan PAUD dalam jalur formal dan
nonformal.
Sayangnya, Permendikbudristek tersebut, terhalang
oleh regulasi yang lebih tinggi kedudukannya, secara eksplisit tetap membedakan
antara PAUD formal dengan nonformal. Bahwa tersirat dan tersurat, undang-undang mengatur
bahwa TK/RA adalah termasuk jalur pendidikan sekolah (UU No. 2/1989) atau
jalur pendidikan formal (UU No. 20/2003). Sementara TPA/KB/SPS, termasuk jalur pendidikan
nonformal.
Oleh sebab itu, dapat dipahami jika TK lebih
mendapatkan peluang memperoleh kesejahteraan. Dampaknya, walaupun ada perubahan nomenklatur
di Kemendikbudristek, bahwa TK masuk di Dirjen Guru PAUD dan Dikmas, masih menyisakan
ambigiu perlakuan, khususnya: pemberian penghargaan dan perlindungan.
TPA/KB/SPS dari awal kelahirannya dibawah
pembinaan Dirjen PAUD dan Dikmas ( dulu Diklusepora/PLS). Sementara itu UU No.
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, secara tegas menyatakan bahwa guru PAUD
yang diakomadasi adalah yang berada di jalur formal.
Maka dari itu, prediksi bahwa
perjuangan Himpaudi untuk memperjuangkan
kesetaraan, melalui jalur hukum, dengan meninjau Undang-Undang No. 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, sangat berat, terbukti. Artinya, jika ingin
mengubah regulasi haruslah dimulai dari yang paling pokok, yaitu undang-undang
tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Himpaudi harus mengawal proses revisi Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang konon saat ini sedang bergulir di DPR.
Namun demikian, perjuangan Himpaudi tidaklah sia-sia.
Upaya tersebut, telah menorehkan tinta emas, yang menyentakkan pengambil
kebijakan, bahwa Himpaudi, tidak dapat dipandang sebelah mata. Mereka bukanlah
sebagai pihak yang pasrah dan tertidur dininabobokkan. Dengan honor dalam
kisaran Rp. 100 -200 rb, atau sama dengan SaJuTa (Sabar, Jujur dan Tawakal),
namun di pundaknya dibebankan melahirkan Generasi Emas Tahun 2045, sangatlah
tidak berimbang. Pertanyaannya: siapa
yang berwenang dan bertanggung jawab memperhatikan pendidik PAUD nonformal?
Tulungagung, 01 januari 2022