Oleh M. Kasim
Testimoni, PT KAI
Setiap kali naik
kereta api, rasa malu selalu mennyelimuti perasaan ini. Terasa tebal, dan tidak
bisa ditolak jika dikatakan terlalu bebal telinga ini. Marah, benci, menangis,
galau, kacau, dan linglung bingung, bergulung menyelubungn lalu, masih berlantai keramik biasa, sekarang sudah
terpasang keramik yang benar-benar dapat dikatakan fasilitas umum yang moncer. Kemudian,
selalu tersungging senyum dan sapa dari semua personil mulai dari level jabatan
tertinggi hingga paling bawah. Kepala stasiun, masinis, polsuska, pramusaji,
pelayan loket, satpam/PKD, semua melayani dengan SOP yang terdidik, terlalih
dan sudah terbentuk menjadi karakter.
Bukti yang sempat
berkembang secara viral di medsos, masih ingat bagaimana berita seorang tenaga cleaning servis yang menyerahkan segebok
uang ratusan juta, milik penumpang yang tertinggal?. Selanjutnya, silahkan
mengingat kembali bagaimana kondisi PT KAI, satu atau dua dasa warsa yang lalu. Luar biasa, sebuah lompatan evoluasi manajemen,
dan bukti nyata revolusi mental.
Terus kutengok diri
ini, atribut ini, sebagai satu unsur pelaku dan warga pendidikan. Adakah yang
salah dengan apa yang aku, kami dan kita lakukan? Keluargaku, lingkup kerjaku,
masyarakatku, dan bangsaku? Sampai-sampai pemimpin kita saat bertekat
merevolusi mental bangsa ini? Sedemikian parahkah sakitnya karakter kita?
Pertanyaan terakhir, bisakah kita ubah dengan cepat, secepat Pimpinan PT KAI
melakukannya?
Karakter, bukan lagi Teori.
Sengaja, tulisan
ini tidak mengutip teori karakter apapun, karena kita sudah tahu sama tahu.
Negeri ini sudah penuh dengan aturan, norma, etika, estetika, bahkan dengan
bangganya kita selalu mengagung-agungkan kata” nilai-nilai luhur bangsa” ini.
Kita sudah tahu dan lebih dari sekedar mengerti dan memahami. Apalagi didukung
dengan satu pondasi kehidupan yang kokoh: agama, maka seharusnya tidak ada
kekhawatiran, robohnya karakter bangsa.
Karakter, adalah
hasil pembiasaan nilai-nilai tatanan masyarakat dan bangsa, baik sebagi makhluk
individu (hamba ALLoh), maupun sebagai makhluk sosial, yang telah membudaya pada setiap pikiran,
perasaan, ucapan, serta perbuatan dalam kesehariannya ketika bersama-sama
memerankan fungsinya, yang dengan dilandasi kesadaran dan keikhlasan.
Oleh sebab itu,
jika ingin mengubah karakter, maka mulailah dengan meniru contoh nyata yang
sudah terjadi dan dilaksanakan di lingkungan sekitar. Janganlah tekat dan semangat
pimpinan bangsa ini yang sedemikian mulia, justru dijadikan ajang memperbesar
permasalahan, dengan kebiasaan yang selama ini terjadi. Sibuk melakukan kajian
terori yang bak menara gading, perencanaan yang melebar, pelaksanan yang
berantai memanjang, dan evaluasi yang berbelit, serta tindak lanjut yang
semakin samar.
Mengapa tidak
langsung saja, meng-copy paste apa
yang telah dilakukan PT KAI? Kita yakin mereka pasti telah memiliki sistem dan
manajemen yang dilaksanakan oleh SDM dengan komitmen , dedikasi dan loyalitas
yang berkelas. Kita yakin, untuk mencapai kondisi sekarang, PTKAI, tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Ada
rintangan, tantangan, hambatan, bahkan ancaman. Asalnya, bisa dari
intern (yang menolak perubahan dari zona nyaman) dan ekstern (yang menolak
perubahan dari pihak zona aman). Selain itu perlu proses dan waktu, serta
kesungguhan pimpinan manajemen dalam pelaksanaan perubahan. Kesimpulannya,
perubahan karakter, saat ini bukan sibuk mencari teori, tetapi kesungguhan
dalam mewujudkan bukti.
Start
implementasi
Mengulang lagi dari
tulisan sebelumnya “Pendidikan Karakter, Tanggung jawab Siapa”? maka dapat
dipaparkan uraian singkat berikut.
1. Pilar-pilar
pendidikan karakter
a. Pemerintah
Pemerintah yang selama ini selalu diarahkan
dan dibebankan kepada Kementerian yang membidangi pendidikan (Kemdikbud). Oleh
sebab itu, seluruh program pendidikan karakter berujung di lembaga
pendidikan/satuan pendidikan. Guru, menjadi ujung tombaknya. Sementara sungguh
ironi dan memperihatinkan, saat ini terjadi
berbagai peristiwa kekerasan dari yang ringan hingga penghilangan nyawa guru
oleh pihak lain (masyarakat, ortu/wali dan anak didik), menjadi bahan
perenungan tersendiri. Ada apa dengan guru?.
a.
Masyarakat
Masyarakat sebagai pihak yang
bertanggungjawab, pada upaya penciptaan kondisi yang kondusif agar pendidikan
karakter bertumbuh dan berkembang. Anak tidak selamanya, di dalam keluarga.
Seiring semakin besar dan bertambah usia, maka pengaruh masyarakat dalam
pendidikan karakter, justru yang dominan.
b.
Keluarga
Keluarga adalah pelaku pendidikan
karakter yang pertama dan utama. Pertama yang memberikan ponndasi nilai-nilai
karakter kepada anak, sebelum mengenal pihak lain di luar anggota
keluarganya. Utama, kara pada awal pembentukan
karakter, dari segi kuantitas kesempatan, orangtua yang paing berpeluang
memberi pengaruh. Karaktar anak, merepresentasikan karakter keluarga.
c.
Peserta Didik
Hampir dilupakan, dalam setia kajian
karakter, bahwa anak hanya sebagai objek, bukan subjek. Oleh sebab itu, sering
dikesampingkan, penanaman karakter tidak mempertimbangkan perkembangan
psikologi anak. Anak memiliki kebutuhan suapan pendidikan karakter sesuai
dengan apa yang dia hadapi dan dia alami, dengan kekinian, bukan dengan
dogma-dogma dan contoh yang kedaluwarsa.
d.
Lembaga Tinggi Negara
Ada tiga lembaga tinggi, eksekutif,
yudikatif, dan legeslatif. Semua memiliki tanggung jawab yang sama, jika mindset revolusi mental disepakati
bersama. Pendidikan karakter yang jelas
dan terukur dan implementasi regulasi dengan sanksi sebagai konsekuensi
penegakkan hukum yang teguh, harus dipatuhi oleh lembaga tinggi negara.
2. Keteladanan
Faktor ini yang taerakhir paling
menentukan. Keteladanan, keteladanan, sekali lagi keteladanan. Seberapa
mantapnya sebuah program, dukungan dana yang besar, waktu yang panjang, semua
akan sia-sia, jika keteladanan dari pihak-pihak terkait betolak belakang dengan
apa yang dislogankan, diiklankan, dimasyarakatkan, dan akhirnya, akan menjadi
tontonan, bukan tuntunan. Pendidikan karakter, menjadi guyonan, dagelan , bukan
menjadi cerminan, wayang/bayangan, dari sebuah petuah/ajaran yang seperti
selalu kita agung-agungkan “nilai-nilai luhur bangsa”.
Anak adalah peniru. Itu yang harus kita
ingat. Kemudia seiring kedewasaan berpikir, anak akan memiliki jiwa kritis atas
apa yang terjadi di sekitarnya. Jika mereka menemukan hal yang kontradiktif,
dari apa yang selama ini diterima dalam penanaman karakter, dengan apa yang
dilakukan orang-orang dewasa, yang seharusnya menjadi teladan, maka
pemberontakan adalah eksresinya. Apakah ini yang melandasi, berbagai kekerasan
anak terhadap pendidik? Perlu kajian lebih lanjut.
3. Membangun Sistem
Hampir semua institusi, organisasi dan komunitas apapun, pertama yang
dipandang sebagai faktor utama menentukan bentuk dan gerak lembaga yang
dipimpinnya, bergantung pada pemimpinnya. Tidak salah, namun jika kita ingin
membangun dan menata perikehidupan bangsa ini, maka ke depan, orientasi
kelembagaan yang bergantung pada personal harus dialihkan kepada sistem.
PT. KAI, tetap berjalan dan berkembang sampai saat ini, walaupun telah
berganti pimpinan. Mengapa? Hal ini disebabkan oleh telah terlembaganya sistem
yang sudah dibangun “ mendarah daging” pada semua lini manajemen dan pelakunya.
Berbeda yang akan terjadi, jika suatu lembaga bergantung kepada personal. Maka
besar kemungkinan lembaga akan berbelok arah dan menuju jurang kehancuran jika
penggantinya, tidak berkomitmen melanjutkan
kesepakatan dan program pimpinan sebelumnya.
Bukan berarti, argumen ini dapat disimpulkan sebagai rekomendasi
didirikannya Departemen Pendidikan Karakter. Kalaupun memang dirasakan perlu,
maka diusulkan, pimpinan PT. KAI yang mengawali sebagai inisiator dan
eksekutor, layak menjadi Menteri Departemn Pendidikan Karater yang pertama.
Mengapa tidak?
Kesimpulan
1. Mengubah
budaya tidak sulit, mengubah karakter tidak rumit. Bukan hal yang mustahil,
yakinlah kita berhasil.
2. Keteladanan, adalah penentu
keberhasilan pendidikan karakter.
3. Membangun pendidikan karakter dengan sistem, jangan
personal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar