Oleh M. Kasim
Alhamdulillah…berakhir sudah beban yang kami rasakan, selama mempersiapkan
visitasi akreditasi. Begitu jawaban rata-rata pengelola dan guru PAUD, dari hasil
pengamatan yang ada. Jawaban yang tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa direnungkan dalam-dalam.
Jangan sampai rangkaian proses akreditasi, dimaknai sepotong-potong, dan
lepas dari tujuan pokok, akreditasi. Dari diskusi kecil, muncul pernyataan
tujuan akreditasi adalah “percepatan” pencapaian mutu program PAUDDIKMAS. Kata
yang berasal dari sumber yang berkompeten. Jawaban yang dapat menyentakkan
kesadaran semua pihak, terutama penilik selaku pengendali mutu.
Tujuan akreditasi adalah menentukan kelayakan satuan pendidikan (satdik) sesuai jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Fungsi akreditasi,
memberikan data bahan pemetaan kondisi tingkat mutu layanan satuan pendidikan.
Data tersebut, digunakan
sebagai bahan untuk menindaklanjuti dengan proses pembinaan dan Pembimbingan. Pemerintah (Kemendikbud), akan
menggunakan data ini sebagai dasar pengembangan program-program peningkatan
kualitas layanan satuan pendidikan berorientasi pada 8 SNP.
Dengan demikian terus terang, kata “percepatan” akan memberi warna dan makna
yang akan ditangkap satdik secara berbeda-beda atas proses akreditasi. Mengapa?
Akreditasi, adalah Penilaian
Makna akreditasi janganlah dikembangkan meluas
melebihi batas sebagaimana yang diharapkan dalam peratuaran dan
perundang-undangan. Bahwa akreditasi adalah proses mendokumentasikan fakta dan
dan data, yang telah dan sedang dilakukan oleh satdik. Asumsinya, satdik
tersebut tetap melakukannya, untuk waktu yang “akan datang”.
Tanpa akreditasi, logikanya, satdik tetap
melakukan layanan pendidikan dengan apa adanya, dan berkembang mengikuti proses
pembimbingan dan pembinaan oleh pejabat berwenang, maupun oleh pihak lain yang
terkait, bahkan dari upaya satdik sendiri. Posisi akreditasi dalam hal ini sebagai
alat pemerintah (Kemdikbud), untuk memetakan mutu layanan satdik, sesuai kondisi
realitas yang ada.
Oleh sebab itu, agar
diperoleh fakta dan data yang “apa adanya”, maka semua pihak
harus memiliki kesamaan visi, misi, tujuan dan komitmen. Tujuannya, agar
akreditasi berjalan “sebagaimana adanya”, tanpa tersentuh upaya “ harus ada”.
Disinilah, kata “percepatan” dimungkinan akan menjadi stempel pengesahan dalam
memaknai “akreditasi adalah proses ramai-ramai
melengkapi borang akreditasi”. Memilukan.
Akreditasi: Energi Positif atau Negatif ?
Berdasarkan pengamatan, nuansa akreditasi belumlah seperti yang diharapkan.
Ketegangan, kegelisahan dan kegalauan mewarnai satdik. Banyak faktor penyebabnya: lembaga yang belum
siap, karena data yang diunggah melalui sispena, hanya sebatas contoh dan tidak
linier dengan fakta dan data yang ada. Bisa juga, hal itu disebabkan oleh
performen asesor, yang membawakan diri sebagai algojo bagi satdik. Asesor yang
tidak menyadari bahwa ia sebatas petugas penilai, yang tidak memiliki peran
ganda sebagai pembimbing atau pengarah satdik.
Suasana tersebut yang tidak mendukung satdik untuk menyikapi proses akreditasi
sebagai momen yang tepat untuk terapi diri. Satdik seharusnya memahami proses
akreditasi sebagai suatu kesempatan untuk memperoleh fakta dan data dari pandangan
kaca mata pihak luar, yang dilakukan secara kredibel, transparan, dan
akuntabel.
Jika kondisi minor itu yang terjadi, maka bukan saja pencapaian tujuan
akreditasi “jauh panggang dari api”,
melainkan ibarat anak panah yang tidak hanya meleset dari sasaran, tetapi
berbalik menjadi bumerang dan menancap tajam di jantung kematian satdik. Keberuntungan
minimal, satdik berjalan di tempat atau stagnan, dan nilai akreditasi sebatas
“sertifikat monumental” sebagai tanda pernah ikut ekreditasi. Tiga atau enam
bulan berikutnya, kondisi tetap sama dengan saat visitasi akreditasi tidak
bertambah.
Semua pihak sebaiknya mengawal, menumbuhkan, membangun rangkaian akreditas
mulai perencanaan, input, proses
hingga output menghasilkan sesuatu
yang memiliki nilai fungsi dan manfaat yang tinggi. Oleh sebab itu, selain
proses akreditasi yang saharusnya berjalan natural, maka hasilnya pun, diibaratkan
dapat berfungsi sebagai “jamu” atau “energi positif” bagi satdik dalam meningkatkan mutu layanan.
Akreditasi: Harapan ke depan
Akreditasi segera dikembalikan kepada marwahnya: sebagai alat penilaian
mutu layanan satdik. Untuk itu, perlu diberikan penguatan prinsip-prinsip
akreditasi yang secara objektif, adil, transparan, dan komprehensif.
Proses akreditasi ini dilakukan secara berkala dan terbuka dengan tujuan
untuk membantu dan memberdayakan program dan satuan pendidikan agar mampu
mengembangkan sumber dayanya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Perlu diingat bahwa akreditasi erat kaitannya dengan konsep standarisasi. Standardisasi
pendidikan memiliki makna sebagai upaya penyamaan arah pendidikan secara
nasional yang mempunyai keleluasaan dan keluwesan dalam implementasinya
berdasarkan 8 SNP.
Semua pihak harus mendorong
terciptanya kondisi bahwa 8 SNP
harus dijadikan acuan oleh pengelola satdik. Yang lebih penting, juga mendorong
tumbuhnya inisiatif dan kreativitas pengelola satdik untuk mencapai standar
yang ditetapkan. Impian ke depan: akreditasi menumbuhkan budaya pelayanan bermutu 8 SNP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar