Oleh M.Kasim
Jangan jawab dulu, jika masih belum direnungkan. Pertanyaan ini berawal dari hiruk pikuknya peristiwa beberapa waktu lalu tentang bagaimana pro kontra pemberlakuan full day school. Sebuah konsep yang diharapkan akan dapat memperkuat penanaman karakter kepada anak-anak bangsa. Penutupnya, terbitnya Perpres No. 87 Tahun 2017.
Alhamdulillah, benar-benar pemerintah telah menunjukkan keseriusan dalam menyikapi semakin mengkhawatirkannya hambatan dan tantangan dalam membangun karakter bagi calon generasi penerus bangsa ini. Selesaikah? Tidak.
Pilar-Pilar Penyangga
Perpres No. 87 Tahun 2017, secara tegas menyebutkan dalam konsiderennya bahwa penguatan pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Tepat sekali pertimbangan ini, karena pada dasarnya pendidikan memang tanggung jawab tiga pihak tersebut, yang dikenal dengan Trilogi Pendidikan. Kemudian dalam
Pasal 3, disebutkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meiiputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatit mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungiawab
Pemerintah, yang dalam hal ini direpresentasikan pada ujung pelaksananya, yaitu sekolah, menjadi leading sector , karena yang paling memungkinkan memiliki struktur dan infrastruktur, terkait proses pendidikan.
Secara struktur, sekolah memiliki SDM yang memang dibekali dengan kompetensi dan kualifikasi yang lebih baik. Guru dan Tenaga Kependidikan di sekolah dipandang cakap untuk membimbing anak agar tumbuh dan kembang karakter-karakter yang dimaksud. Kemudian infrastruktur yang berupa program, baik kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler, akan menjadikan keunggulan dalam pendidikan karakter.
Masyarakat, juga memiliki peran tidak lebih kecil dari pada sekolah, dalam menentukan keberhasilan pendidikan karakter pada anak. Apalagi pada anak remaja, yang secara psikologis, mulai mengurangi kebergantungan dengan keluarga, untuk lebih mendekatkan diri kepada lingkungan sebagai bentuk upaya pengakuan atau pembentukan jati diri.
Runyamnya, heterogenitas dan sulitnya pemantauan dari orangtua kepada pihak-pihak di luar keluarga, dapat menjadi faktor yang tidak menguntungkan bagi pendidikan karakter anak.
Keluarga, sebagai pihak yang dikenal pendidik yang pertama dan utama, adalah penentu pembangun dan pemberian dasar/pondasi karakter anak.
Sebagai pendidik yang pertama, artinya sebelum anak bersosialisasi dan berkomunikasi secara fisik dan emosional dengan pihak luar, maka orangtua lah yang menorehkan nilai-nilai/karakter kepada anak. Sebagai pendidik yang utama, artinya, dari segi kuantitas waktu dan kewenangan, orangtua tidak terkalahkan oleh dua pihak sebelumnya. Jelaslah, dari 24 jam, yang ada, hampir 2/3 bagian lebih, anak bersama keluarga. Dapat dipahami jika, karakter anak, merupakan gambaran bagaimana kondisi sosial dan emosional keluarga masing-masing.
Pilar yang Terlupakan
Sudah cukupkah pendidikan karakter dibebankan kepada tiga pihak tersebut? Sangat tidak cukup. Masih ingat, gebrakan cemerlang dari tokoh pejabat nasional (jika tidak salah beliaunya Jaksa Agung) yang mencetuskan kantin kejujuran?
Luarbiasa, dan sangat mendasar, menyentuh urat nadi bagi tumbuhnya karakter kejujuran bagi anak. Bukan bermaksud membiaskan tanggung jawab pendidikan lepas dari pihak kementerian yang membidangi pendidikan, melainkan ini menunjukkan langkah nyata bahwa pendidikan karakter merupakan tanggungjawab semua komponen, dari bangsa ini.
Pendidikan karakter tidak hanya mengarah kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Keagamaan, Dalam Negeri, yang semuanya merupakan unsur eksekutif. Tidak akan terwujud pendidikan karakter kepada anak-anak, jika mengabaikan peran dan fungsi pihak legislatif dan yudikatif. Pendek kata, semua lembaga negara, tanpa kecuali, harus bertanggung jawab memerankan fungsinya sebagai pihak yang ikut membangun karakter anak-anak.
Keteladanan, sebagai komitmen
Pertanyaan berikutnya, sudahkah pihak-pihak tersebut di atas memiliki kesadaran dan komitmen akan tanggungjawabnya sebagai pihak yang menentukan warna karakter generasi bangsa ini ke depan?. Ada dua indikator yang dapat dijadikan parameter untuk menilai seberapa jauh kepedulian pihak-pihak tersebut.
Pertama, secara kelembagaan, apakah lembaga-lembag tersebut memiliki program yang memberikan peluang bagi tumbuhnya karakter yang diharapkan tumbuh dan berkembang? Misalnya, melalui kolaborasi ataupun bersinergi dengan lembaga pendidikan, dalam perlombaan mapun kegiatan yang lain. Bisa juga, secara nyata ada penganggaran, baik untuk intern juga ekstern, dalam memberikan daya dukung pendidikan karakter.
Kedua, secara pribadi, apakah para pejabat sebagai public figure , dapat memberikan contoh kepada masyarakat atau khalayak ramai, bahwa dirinya patut menjadi panutan yang menunjukkan karakter bangsa ini. Sebagai orang yang segala sepak terjangnya, ucapannya, perilakuknya, dan pemikirannya, sangat mudah tersiarkan di media sosial, cetak dan elektronika, apakah sudah memberikan contoh yang baik?.
Bagaimana dengan peristiwa-peristiwa di media masa, akahir-akhir ini? Apakah tontonan tersebut sekaligus berupa tuntunan? Ataukah justru menjadi faktor yang merobohkan pilar penyangga karakter bangsa? Jika dicermati, maka yang justru memberikan torehan yang mendalam dalam benak anak adalah keteladanan para orang dewasa di sekitarnya.
Apa yang anak dengar, lihat dan rasakan akan menjadikan dasar tumbuhnya karakter. Pejabat publik baik dari eksekutif, yudikatif dan legeslatif, para public figure, yang berasal dari tokoh masyarakat, agama, artis, dan segala profesi, pendek kata seluruh pilar bangsa ini, harus bahu-membahu, memberikan keteladanan dalam penguatan pendidikan karakter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar