PENILIK ADA DAN BISA

Jumat, 08 Februari 2019

REVISI PERMENPAN: PENILAIAN SKP, BERNASIB SAMA DENGAN DP3?

Oleh M. Kasim

Teringat, awal 90-an, saat pertama menjadi guru SD.
Sebagai guru muda yang masih buta dengan kondisi  lingkungan kerja, dipaksa memahami makna idealis yang harus realistis.

Tatkala, ada teman guru satu sekolahan yang mengajukan DUPAK, dengan masa penilaian 5 tahun, mendapat hasil: TMS (Tidak Memenuhi Syarat).  Padahal, DP3 yang diperoleh bernilai: BAIK.

Ironis, karena waktu itu, pejabat penilai dan atasan pejabat penilai adalah KS dan Pengawas.

Heran, dan logika tidak berjalan. Mengapa bisa terjadi? Dimanakah letak sumber masalah? Siapa yang salah? Yang jelas, guru yang harus menanggung beban dan menjadi korban.

Teori pendidikan langsung mengurai.
Pertanyaannya: dimana fungsi supervisi selama ini? Kepala sekolah apakah tidak melakukan pembinaan? Pengawas apakah tidak melakukan monitoring? Yang jelas sistem pembinaan kepegawaian tidak berjalan.

Pada saat kegiatan KKG, semua saya paparkan dan saya usulkan, untuk mengatasi masalah tersebut, maka minimal pengawas harus menilai guru binaannya, satu caturwulan (waktu itu) satu kali.

Kemudian, dibuat semacam buku raport penilaian, dengan catatan hasil penilaian, yang jika ada kekurangan, harus dilengkapi pada penilaian caturwulan berikutnya.

Harapannya: tidak ada kasus guru lembur membuat bukti fisik sebanyak 3-4 tahun, ketika mau naik pangkat. Yang tentunya, selain hal itu menyita waktu, juga tidak bermakna dan sia-sia.

Tidak logis, untuk memperoleh kenaikan pangkat, dengan penilaian masa kerja selama 4-5 tahun, ditentukan 1 hari, atau mungkin 1-2 jam saja.

DP3, Formalitas Belaka?

DP3 merupakan produk dari Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 02 /SE/ 198O tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.

Unsur-sur penilaiannya antara lain: kesetiaan; prestasi Kerja; anggung jawab; ketaatan; kejujuran; kerjasama; prakarsa dan kepemimpinan (untuk KS atau pejabat struktural).

Hasil penilaian yang berupa DP3, seharusnya mencerminkan kondisi nyata dari seorang pegawai. Atasan pejabat penilai bertanggung jawab atas hasil penilaiannya.

Bahkan, ada ruang bagi pegawai untuk mempertanyakan hasil penilaian atasannya, jika merasa dirugikan atau tidak sesuai dengan dirasakan. Ada mekanisme cek dan crosscek .

Faktanya, penilaian dengan sistem yang demikian, ternyata tidak seperti yang diharapkan, baik proses maupun output -nya.

Fakta yang ada, adalah seperti yang dipaparkan di atas. Jarang ada pegawai yang melakukan klarifikasi atas hasil penilaian dirinya. Dus, hasil DP3 tidak bermakna bagi pembinaan karir pegawai.

SKP, Harapan atau Fatamorgana?

Ada secercah
harapan dengan diterbitkannya Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil.

Sistem penilaian PNS yang benar-benar komprehensif. Ada dua hal pokok yang menjadi objek penilaian, yaitu Sasaran Kerja Pegawai (SKP), dan Perilaku Kerja Pegawai. Yang diharapkan mampu memberikan sistem penilaian pegawai, berbasis kinerja, karena langsung merepresentasikan tugas pokok dan fungsi masing masing-masing pegawai.

Apakah harapan tersebut terwujud? Lagi-lagi, “kegagalan” DP3 menunjukkan indikasi terulang kembali. Hasil penilaian SKP, belum meyakinkan semua pihak merepresentasikan kondisi nyata penilaian berbasis kinerja.

Hasil SKP,  belum memiliki fungsi sebagai satu-satunya hasil penilaian yang mewakili prestasi kerja pegawai. Buktinya, hasil SKP tidak lebih dari sekedar pelengkap pengajuan berkas kenaikan pangkat/jabatan.

Penilaian SKP, disebut  menunjukkan keberhasilan, jika hasilnya diakui menjadi satu-satunya alat ukur kinerja pegawai. Hal ini harus berlaku bagi seluruh jenis pegawai, baik struktural maupun fungsional.

Namun yang terjadi, belum ada keterpaduan penilaian, antara beberapa pihak terkait, khususnya di jabatan fungsional. Ada ke”jumbuh”an peran antara Tim PAK dengan pejabat penilai pegawai.

Hasil penilian SKP, yang seharusnya, sudah melalui proses penilaian bukti fisik dari masing-masing butir/unsur kegiatan, masih belum meyakinkan pihak terkait. Buktinya, Tim PAK, masih melakukan penilaian bukti fisik.

Bahan Renungan

Momentum revisi Permenpan RB No. 14 Tahun 2010, seharusnya, tidak melewatkan begitu saja permasalahan ini. Perlu dipertimbangkan pengaturan penilaian kinerja Penilik, yang berbasis kinerja, dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi.

Penilaian Kinerja penilik, sebaiknya jangan hanya dilakukan pejabat atasan langsung, karena kondisi birokrasi di kabupaten/kota, dalam hal terpenuhinya spesifikasi bidang keahlian bagi jabatan yang disandangnya, masih rentan.

Sebaliknya, jika semua penilaian kinerja pegawai diserahkan kepada Tim PAK, maka selain sistem penilaian SKP tidak berjalan, juga segalanya bisa terjadi, jika hanya bertumpu pada bukti fisik belaka.

Bagaimana memadukan dua hal tersebut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IKM PAUD: ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) PAUD SERUPA SILABUS

  Oleh M. Kasim Menyambung artikel sebelumnya, mencermati konsep dan bentuk fisik ATP. Terus terang, artikel ini memungkinkan memantik dis...